ads

Rabu, 27 Oktober 2010

Oh... Sertifikasi

Oleh: Yanto Hartono


Sejak digulirkannya ‘Sertifikasi’ tepatnya tahun 2007 silam banyak tenaga pendidik yang mendambakan segera disertifikasi, karena konon katanya tunjangan sertifikasi sebesar Rp.1.500.000, ini hampir setara dengan gaji pokok seorang guru PNS golongan III-A.

Sebagai perbandingan coba kita hitung-hitung, bagi PNS yang sudah disertifikasi tunjangannya sesuai dengan gaji pokok, bisa dibayangkan apabila digabung dengan gaji PNS-nya berapa? Apabila seorang guru honor di suatu yayasan tinggal dikalkulasikan saja honor dari sekolah tempat mengajar dengan tunjangan sertifikasi Rp.1.500.000. cukup menggiurkan bukan?.

Sungguh ini menjadi angin segar bagi guru-guru honorer non-PNS yang masih banyak berpenghasilan dibawah Rp. 1.000.000.

Menjadi hal yang wajar apabila para guru menjadi sangat tergiur dan mendambakan untuk segera disertifikasi terlebih bagi kami yang mengajar di sekolah swasta yang gajinya hanya cukup bahkan kurang untuk resiko sehari-hari ditambah hutang kredit.

Dampak dari itu semua guru yang belum S-1 berlomba untuk kuliah lagi demi meraih gelar sarjananya, tentunya ini dampak yang baik, tapi itu bukan alasan satu-satunya selain hal tersebut ada yang lebih urgen, yakni peraturan pemerintah yang mewajibkan tahun 2015 guru sudah sarjana yang belum sarjana dan belum disertifikasi akan sendirinya tidak akan diakui menjadi guru, karena sertifikat pendidik menjadi wajib dimiliki oleh seluruh guru yang aktif mengajar.

Sertifikasi itu sendiri bisa diartikan sebagai legalisasi guru yang berlatar belakang pendidikan minimal S-1 atau D-4 sehingga menjadi guru professional sesuai dengan UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003.

Sertifikasi lahir berkat perjuangan guru-guru dan pelaku pendidikan agar pemerintah lebih memeperhatikan nasib guru yang notebane sebagai pencetak generasi bangsa dimasa yang akan datang. Meskipun guru adalah pahlawan tanpa jasa, tapi itu dipandang sangat layak sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada kehidupan guru mengingat jasanya yang sangat mulia di sisi Allah, sebagai contoh guru-lah yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin hebat di dunia ini.

Memang terkadang kita berfikiran menjadi guru sangatlah berat dan tidak enak, karena seorang guru dituntut menjadi seorang yang harus banyak tahu untuk semua hal, dituntut untuk selalu mencari informasi dan ilmu yang baru, menjadi guru teladan yang patut digugu dan ditiru, menjadi tempat curhat dan pemecah masalah dan sikap serta sifat-sifat baik lainnya tentunya.

Lain dulu lain sekarang, sertifikasi sudah bergulir dan guru-guru yang sudah lulus disertifikasi dari mulai angkatan pertama sampai sekarang dipastikan telah menikmati hasil dari tunjangan sertikasi yang turun secara rafel itu.

Janji pemerintah sebagian sudah terpenuhi, sekarang tinggal menanggih janji-janji para guru itu sendiri, karena acap kali para guru selalu berkilah “bagaimana kita mau menjadi guru yang berkualitas dan professional sementara kebutuhan kami tidak terpenuhi”. Itu realitas guru di Indonesia, tapi rupanya pemerintah sudah mulai paham dengan kondisi guru yang terkenal dengan sebutan “Umar Bakri” debutan penyanyi balada Iwan Fals itu.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah dengan turunnya tunjangan sertifikasi akan berbanding lurus dengan kualitas guru itu sendiri? Inilah yang menjadi pertanyaan dan PR bagi kita semua sebagai guru, apakah akan menjadi guru berkualitas dan professional atau menjadi guru biasa-biasa saja tanpa ada misi pendidikan sebenarnya. Silahkan anda renungkan dengan bijak dan baik. Karena kita terkadang lupa ketika gaji kecil sering kali teriak lantang “jangan tuntut kami untuk berbuat banyak demi pendidikan”, tapi ketika gaji besar atau setara standar PNS malah lupa dengan tugas utama sebagai guru, terkadang tidak sedikit seorang guru disibukan dengan kebutuhan yang tidak mendasar atau terkesan boros sehingga motivasi guru hanya alat pencari nafah belaka yang akan menghilangkan kesederhanaan dan ruh guru itu sendiri.

Mencari nafkah dalam menjalankan profesi guru tentunya tidak disalahkan sama sekali, tetapi harus diingat apabila kita berniat menjadi guru maka konsekwensinya harus total jadi guru tidak setengah-setengah dan konsep keikhlasan karena Allah harus terus ditanamkan dalam hati untuk mengiringi disetiap langkah seorang guru karena kalau tidak nilai guru yang amat luhur dan mulia akan luntur dan hilang sehingga keberkahan seorang guru untuk pendidikan dalam membentuk anak didik sesuai dengan cita-cita bangsa dan agama tidak akan terwujud. Intinya apabila setengah-setengah lebih baik mundur jadi guru.(Menurut Dosen Pendidikan, 24/10/’10)

Coba kita perhatikan UU Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003, h.23) Pasal 40 ayat 2 yang berbunyi:
a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
b. Mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Islam sendiri menempatakan guru dengan kedudukan yang teramat tinggi karena guru merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai ‘kelangitan’.

Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menjadi guru yang ‘berleha-leha’. tetap semangat karena Allah untuk memajukan pendidikan demi generasi yang cerdas, beriman dan bertaqwa, berusahalah untuk selalu menjad guru yang tawadhu dan zuhud, kreatif, inovatif dan selalu memperluas ilmu pengetahuan dan agama.
Wallahu’alam.

Tidak ada komentar

Posting Komentar